Selasa, 09 Juni 2009

Nikmatnya Nasi Goreng Arang Bumen Jaya


Nikmatnya Nasi Goreng Arang Bumen Jaya

Wartan Kota/Dian Anditya MutiaraSelasa, 19 Mei 2009 18:15 WIB
DI negeri ini, nasi goreng mungkin bisa dijuluki ’makanan generik’. Nasi goreng ada di mana-mana, dari rumah makan mentereng dengan pendingin udara (AC) hingga penjaja dengan gerobak pikulan di pinggir jalan.

Soal cita rasa tentu tergantung selera masing-masing orang. Kalau memang disukai orang, tentu penjual nasi goreng itu akan bertahan lama.

Seperti Rumah Makan Bumen Jaya yang dikenal sebagai salah satu rumah makan yang bertahan melestarikan makanan turun-temurun itu sejak dahulu. Di rumah makan tersebut, nasi goreng disajikan dalam beberapa variasi, antara lain nasi goreng ayam dan nasi goreng kambing. Ada pula mi rebus, sate ayam, sate kambing, sop kambing, gule, tongseng, dan lainnya. Namun yang menjadi ciri khas adalah nasi goreng ayam dan mi rebus.

”Sudah 45 tahun rumah makan ini berdiri, dan dari dulu resep yang dibuat Bapak tidak pernah berubah. Begitu juga dengan cara memasaknya, masih dengan memakai arang,” ujar Robiyanti (63), pemilik Rumah Makan Bumen Jaya. ’Bapak’ yang dia maksud adalah almarhum suaminya Anwar Sanusi.

Ketika Warta Kota mengamati, pengolahan masakan itu memang menggunakan anglo alias tungku tanah liat dengan bahan bakar arang kayu. Dengan demikian cita rasa masakan yang dihasilkan sangat khas.

Nasi goreng ayamnya diberi potongan daging ayam cukup banyak, disertai taburan emping yang melimpah. Hanya saja saat disajikan kebetulan agak dingin, karena ketika kami sampai di sana, terlihat di atas kompor sudah ada satu wajan besar berisi nasi goreng yang sudah siap, tinggal disajikan saja dengan tambahan emping.

Rasa nasi gorengnya lumayan. Kalau suka rasa pedas, pengunjung tinggal pesan khusus kepada sang koki. Nasi goreng itu pun akan diberi irisan cabai rawit. Wah, bisa dibayangkan pedasnya irisan cabai yang tergigit.

Mi rebusnya juga patut dicoba. Kami memilih mi nyemek. Diolah seperti membuat mi rebus tetapi hanya dengan sedikit kuah atau dalam bahasa Betawi disebut nyemek. Warnanya kecokelatan dan manis karena diberi campuran kecap.

”Awalnya bapak memakai mi kuning basah, tetapi semenjak ada isu boraks, kami jadi tidak berani pakai mi itu lagi. Paling sekarang pakai mi telur kering,” jelas Robiyanti.

Uritan

Sedikit membuka rahasia, menurut perempuan yang akrab dipanggil Yanti tersebut, bumbu dasar untuk nasi goreng berupa tomat, bawang putih, kemiri yang dihaluskan lalu ditumis sehingga menjadi bumbu jadi yang tinggal diolah bersama mi atau nasi.

Hanya saja kini ada yang berkurang. Kalau dulu ada campuran uritan (telur yang belum jadi di dalam perut ayam—Red) di dalam bumbunya. ”Sekarang sudah susah cari uritan di pasar, tapi rasanya tidak berubah kok,” tegas Yanti.

Baik nasi goreng maupun mi selalu disajikan dengan taburan emping. Bila Anda ingin lauk tambahan untuk nasi goreng, seperti kepala ayam, brutu (ekor), atau sayap, tinggal memesannya. Setiap lauk harganya Rp 3.000 per porsi. Nasi goreng ayam dan mi nyemek plus telur mata sapi harganya Rp 15.000 per porsi.

Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, pengunjung bisa memesan otak-otak atau tahu pong sebagai camilan. Seporsi otak-otak isi 10 bungkus Rp 20.000, sedangkan tahu pong isi 10 biji Rp 10.000. Untuk minuman, yang jadi favorit pengunjung adalah es jeruk kelapa yang harganya Rp 10.000 per gelas.

Soal cita rasa tak perlu diperdebatkan. Setiap orang punya cita rasanya sendiri-sendiri. Yang pasti, Bumen Jaya sudah bertahan 45 tahun. Itu saja sudah menunjukkan bahwa menu dan cita rasanya yang khas punya penggemar tersendiri. Kalau tidak, tentu sudah gulung tikar. (Dian AM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar